Langsung ke konten utama

Pemikiran Politik Thaha Husein






PEMIKIRAN POLITIK THAHA HUSEIN



Thoha Husein (1889-1973) berasal dari keluarga petani di Mesir. Semasa kecil, Thoha mengalami penyakit yang meenyebabkan kebutaan pada matanya. Namun kondisi ini tidak menghalanginya untuk menuntut ilmu. Setelah menyelesaikan pendidikan dasar, Thoha masuk Universitas Al-Azhar pada 1902. Namun sistem pendidikan di Al-Azhar yang masih terbelakang tidak mampu mengakomodasi semangat rasionalismedan kebebasan berpikirnya. Sebagian besar gurunya juga tidak mendukung pemikiran modern, karena mereka masih diliputi cara berpikir kuno. Satu-satunya guru yang mampu menarik perhatiannya dan mampu mengobati kekecewaan Thoha adalah Mohamad Abduh, yang notabene tidak terlalu disukai oleh para koleganya. Gagasan-gagasan pemikiran Abduh sejalan dengan semangat rasionalnya. Ia sering bertukar pikiran dengan Abduh dan suka mempertanyakan sesuatu yang seringkali dianggap baku oleh umat islam masa itu. 

Karena tidak puas dengan sistem pendidikan al-Azhar yang kurang kondusif bagi perkembangan pemikirannya, Thaha pindah ke Universitas Kairo yang baru dibuka. Di universitas ini ia mendapatkan apa yang dicarinya. Dia belajar politik, sejarah, dan filsafat yang tidak dia dapatkan di al-Azhar. Selain itu dia juga belajar kepada orientalis berkaliber internasional seperti Nallino, Santilana, dan Louis Massignon. Pada tahun 1914, Thaha Husein berhasil mempertahankan desertasi doktornya, dan mendapatkan gelar doktor pula di Unisversitas Sorbonne, Perancis pada tahun 1918.

Sebagai pemikr rasionalis, Thaha Husein adalah tokoh yang kontroversial. Pada tahun 1926, dia menulis buku fi al-syi’r al-jahiliyyah yang memicu kemarahan ulama al-azhar. Buku ini meruntuhkan keabsahan thesis baahwa syair-syair jahiliah adalah otentik ditulis pada masa pra islam. Menurutnya, syair jahiliah ditulis oleh ulama-ulama islam sendiri untuk mendukung pendapat mereka dalam bidang tafsir, hadist, dan teologi. Dalam lapangan politik, Thaha Husein lebih condong kepada partai ummat ( Hizb al-ummah). Pandangan-pandangan politiknya banyak sejalan engan Lutfi al-Sayyid, eksponen partai tersebut. Ia juga banyak menulis pada surat kabar al-jaridah milik partai Ummat. Thaha Husein meninggal pada 28 Oktober 1973 pada usia 84 tahun. Pada akhir tahun 1973, dia dinobatkan sebagai penerima hadiah nobel di bidang sastra.

Pemikiran Politik Thaha Husein
Thaha Husein hidup di zaman ketika terjadi pertentangan antara antara kelompok pemikir nasionalis sekuler dengan kalangan ulama tradisionalis. Thaha yang mendapatkan pendidikan barat yang intens, sepertinya telah kehilangan kepercayaan terhadap nilai-nilai ajaran islam dari dunia islam. Oleh karena itu, untuk meningkatkan kehidupan umat islam dan mengejar ketertinggalan mereka dalam berbagi bidang dari peradaban barat, Thaha Husein mengajukan solusi penerimaan segala aspek kehidupan barat, termasuk dalam lapangan politik. Dia berpendapat seperti ini karena kawasan Barat pada saat itu mampu menampilkan sebuah peradaban yang maju dan modern dengan segala sistem dan tata nilai yang mereka miliki. Semua itu, menurut Thaha, diraih karena keberanian mereka meninggalkan agama mereka. oleh karenanya tidak ada salahnya kalau umat islam mengadopsi peradaban barat. Sebelumnya, umat islam juga pernah menerima unsur-unsur Yunani dan Persia ke dalam peradaban mereka. inilah yang akhirnya mengantarkan umat islam ke puncak kemajuan. Dengan mengambil peradaban barat, tanpa agamanya, umat islam dapat menuju kemajuan dan kehidupan modern.  
 Dalam pemikiran politiknya, Thaha Husein berusaha melepaskan umat Islam dari ketergantungan mereka terhadap pendapat-pendapat lama yang sering dianggap sebagai bagian dari ajaran agama. Menurutnya, agama dan politik adalah dua hal yang berbeda. Karenanya, pengaturan sistem politik dan pemebentukan negara tidaklah berdasarkan Syar’I, tetapi berdasarkan kepentingan-kepentingan praktis masyarakat itu sendiri. Ia berpendapat bahwa tidak ada satupun bentuk atau sistem pemerintahan Islam yang baku, sehingga Islam perlu mencarinya untuk memenuhi tututan masa kini dan mendatang. 

Dunia Islam tidak perlu merasa ragu mengambil sistem pemerintahan Barat. Salah satu pilarnya adalah demokrasi, dan umat Islam harus mengambil bentuk demokrasi dalam pemerintahan mereka. Dalam demokrasi, rakyat berhak menetukan dan memilih pemimpin politik mereka. Karena dalam demokrasi kekuasaan berasal dari rakyat, oleh dan untuk rakyat, maka rakyat bebas mengawasi pemerintahan pemimpin mereka. Dengan demokrasi, maka kontrol rakyat terhadap pemimpin mereka dapat berjalan dengan baik dan kemaslahatan bersama. Disisi lain, lanjut Thaha Husein, beberapa institusi di Dunia Islam telah mengikuti Barat Modern. Praktik-praktik pebuatan undang-undang, deawan mentri, dan berbagai lembaga bersumber pada Eropa (Barat). Pemikiran politik Thaha Husein, umat Islam harus menjadi sejajar dan sama dengan Barat dalam segala hal. Dunia Islam haruslah mengikuti jejak Barat dalam hal yang positif maupun negative, dalam hal yang disukai maupun tidak disukai.  

Thaha Husein sebenarnya ingin mengajak umat Islam untuk berfikir realistis dan berorientasi berfikir ke depan, bukan ke belakang. Karenanya, penafsiran ulama masa lalu terhadap Al-Quran bukanlah sesuatu yang mengikat bagi umat Islam masa kini.  Namun dalam dari gagasan sekularisasi Thaha Husein, ada dua al yang perlu dikaji ulang. Pertama, ketika Thaha Husein menolak adanya sistem politik yang baku dalam Islam dapat diterima, namun ajakannya untuk mengadopsi mentah-mentah sistem politik Barat dalam segala aspek baik dan buruknya perlu dipertanyakan kembali. Apakah hal tersebut bertentangan dengan visi dari Al-Quran maupun keadilan nilai-nilai kemanusiaan.

Kedua, demokrasi yang diambil Thaha Husein sangat Islami. Dalam demokrasi, rakyat dapat menentukan kehendaknya sendiri dan mewakilkannya kepada siapa yang mereka inginkan. Namun dalam paraktiknya, dibalik ide demokrasi tersimapan banyak bibit-bibit penyakit yang berbahaya bagi kemanusiaan. Demokrasi mengandalkan suara terbanyak untuk membawa konsekuensi bahwa kebenaran ditentukan oleh suara terbanyak. Sehingga menimbulkan banyak politisi untuk melakukan berbagai cara agar mendapatkan suara terbanyak dengan acara apapun yang bahkan meanggar ajaran agama. Demokrasi juga mampu menimbulkan peraturan-peraturan baru dari pemerintah seperti pelegalan homoseksual yang sangat melanggar ajaran agam Islam. (2017)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

DEFINISI dan RUANG LINGKUP KEBIJAKAN PUBLIK

DEFINISI dan RUANG LINGKUP KEBIJAKAN PUBLIK Di tengah-tengah kelangkaan sumberdaya yang terbatas, dengan berbagai masalah publik yang makin kompleks, pemerintah dituntut untuk menyelesaikan persoalan-persoalan tersebut, agar tidak menimbulkan implikasi yang tidak diinginkan. Oleh karena pemerintah dihadapkan pada situasi keterbatasan sumber daya di satu sisi dan masalah-masalah publik yang makin kompleks di sisi yang lain, maka pemerintah tidak mungkin menyelesaikan masalahmasalah tersebut secara bersamaan. Pemerintah harus menentukan pilihan penyelesaian masalah-masalah publik tersebut berdasarkan prioritas. Kebijakan publik secara sederhana merupakan bentuk pernyataan formal dari pemerintah tentang pilihan terbaik dari berbagai alternatif penyelesaian masalah publik. Sudah barang tentu pemerintah dituntut memiliki kemampuan yang memadai agar mampu menyesuaikan diri dengan dinamika perubahan lingkungan. Dalam hal ini peran kebijakan publik dan perumus kebijakan publik men...

TASK 1 ENGLISH (GRAFFITI)

Mural as the Way to Express Human's Freedom Picture of mural as the way to express human's freedom Art has long been recognized as a medium through which individual express their deepest emotions, thoughs, and desires. From the earliest cave paintings to the masterpieces of renowned artists, art has played a vital role in capturing the essence of the human experience. In recent years, mural painting has gained significant recognition as a powerful tool for expressing human freedom. Murals, with their large-scale and public nature, have become a captivating means for artists to convey messages of freedom, empowerment, and the celebration of the human spirit. In this exposition, we will delve into the ways in which murals have emerged as an art form that epitomizes the expression of human freedom.     The tradition of mural painting dates back to ancient civilizations, where walls and surfaces were adorned with pictorial narratives. From the ancient Egyptians to the Mayans, mura...